Apa Arti
Ikhlas Arti Iklas Arti Dari Ikhlas Arti Ikhlas Dalam Islam Ikhlas Menurut Islam
PENGERTIAN
IKHLAS
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ
: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
: إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam
telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga
tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal
kalian”.
Dalam
mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada
yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam
beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari
pamrih kepada makhluk.
Al ‘Izz bin
Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan
semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan
manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.
Al Harawi
mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain
berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di
hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka
seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji
sawi”.
Abu ‘Utsman
berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat
kepada Khaliq (Allah)”.
Abu Hudzaifah
Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara
lahir dan batin”.
Abu ‘Ali
Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’.
Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah
menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1]
Ikhlas ialah,
menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala
individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali
karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal,
seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi
maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau
agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan,
harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat
sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena
alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi
karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.
Landasan niat
yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari
perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan
apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan
hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara
duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu
pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti
shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena Allah ialah,
apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada
Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya.
MEWUJUDKAN IKHLAS ADALAH TANTANGAN
Mewujudkan
ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang-orang yang tidak berilmu. Para ulama yang
telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya
mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang dimudahkan oleh Allah SWT.
Imam Sufyan
Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada
mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.” [2]
Karena itu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a:
يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
Ya, Rabb yang
membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu.
Lalu seorang
sahabat berkata,”Ya Rasulullah, kami beriman kepadamu dan kepada apa yang
engkau bawa kepada kami?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya,
karena sesungguhnya seluruh hati manusia di antara dua jari tangan Allah, dan
Allah membolak-balikan hati sekehendakNya. [HR Ahmad, VI/302; Hakim, I/525;
Tirmidzi, no. 3522, lihat Shahih At Tirmidzi, III/171 no. 2792; Shahih Jami’ush
Shagir, no.7987 dan Zhilalul Jannah Fi Takhrijis Sunnah, no. 225 dari sahabat
Anas].
Yahya bin Abi
Katsir berkata,”Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal.” [3]
Muththarif bin
Abdullah berkata,”Kebaikan hati tergantung kepada kebaikan amal, dan kebaikan
amal bergantung kepada kebaikan niat.” [4]
Pernah ada
orang bertanya kepada Suhail: “Apakah yang paling berat bagi nafsu manusia?” Ia
menjawab,”Ikhlas, sebab nafsu tidak pernah memiliki bagian dari ikhlas.” [5]
Dikisahkan ada
seorang ‘alim yang selalu shalat di shaf paling depan. Suatu hari ia datang
terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbersit
rasa malu kepada para jama’ah lain yang melihatnya. Maka pada saat itulah, ia
menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di
shaf pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang
lain. [6]
Yusuf bin
Husain Ar Razi berkata,”Sesuatu yang paling sulit di dunia adalah ikhlas. Aku
sudah bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dari hatiku, seolah-olah
timbul riya, dengan warna lain.” [7]
Ada pendapat
lain, ikhlas sesaat saja merupakan keselamatan sepanjang masa, karena ikhlas sesuatu
yang sangat mulia. Ada lagi yang berkata, barangsiapa melakukan ibadah
sepanjang umurnya, lalu dari ibadah itu satu saat saja ikhlas karena Allah,
maka ia akan selamat.
Masalah ikhlas
merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit sekali perbuatan yang dikatakan
murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali orang yang memperhatikannya,
kecuali orang yang mendapatkan taufiq (pertolongan dan kemudahan) dari Allah.
Adapun orang yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia akan senantiasa melihat
pada nilai kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal pada hari kiamat kelak,
perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Merekalah yang dimaksudkan oleh
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللهِ مَالَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَاكَسَبُوا وَحَاقَ بِهِم مَّاكَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ
Dan jelaslah
bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.Dan jelaslah
bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat … [Az Zumar :
47-48]
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah:”Apakah
akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya. [Al Kahfi : 103-104].[8]
Bila Anda
melihat seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah melakukan amalan Islam
secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia juga beranggapan seperti itu.
Tapi bila Anda tahu dan hanya Allah saja yang tahu, Anda mendapatkannya sebagai
orang yang rakus terhadap dunia, dengan cara berkedok pakaian agama. Dia
berbuat untuk dirinya sendiri agar dapat mengecoh orang lain, bahwa seakan-akan
dia berbuat untuk Allah.
Ada lagi yang
lain, yaitu beramal karena ingin disanjung, dipuji, ingin dikatakan sebagai
orang yang baik, atau yang paling baik, atau terbetik dalam hatinya bahwa dia
sajalah yang konsekwen terhadap Sunnah, sedangkan yang lainnya tidak.
Ada lagi yang
belajar karena ingin lebih tinggi dari yang lain, supaya dapat penghormatan dan
harta. Tujuannya ingin berbangga dengan para ulama, mengalahkan orang yang
bodoh, atau agar orang lain berpaling kepadanya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengancam orang itu dengan ancaman, bahwa Allah akan memasukkannya ke
dalam neraka jahannam. Nasalullaha As Salamah wal ‘Afiyah. [9]
Membersihkan
diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan niat
dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. memerlukan
usaha yang maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam
jiwa, membersihkan hati dari unsur riya’, kesombongan, gila kedudukan, pangkat,
harta untuk pamer dan lainnya.
Sulitnya
mewujudkan ikhlas, dikarenakan hati manusia selalu berbolak-balik. Setan selalu
menggoda, menghiasi dan memberikan perasaan was-was ke dalam hati manusia,
serta adanya dorongan hawa nafsu yang selalu menyuruh berbuat jelek. Karena itu
kita diperintahkan berlindung dari godaan setan. Allah berfirman, yang artinya
: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al A’raf : 200].
Jadi, solusi
ikhlas ialah dengan mengenyahkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, memotong
kerakusan terhadap dunia, mengikis dorongan-dorongan nafsu dan lainnya.
Dan
bersungguh-sunguh beramal ikhlas karena Allah, akan mendorong seseorang
melakukan ibadah karena taat kepada perintah Allah dan Rasul, ingin selamat di
dunia-akhirat, dan mengharap ganjaran dari Allah.
Upaya
mewujudkan ikhlas bisa tercapai, bila kita mengikuti Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan jejak Salafush Shalih dalam beramal dan taqarrub kepada
Allah, selalu mendengar nasihat mereka, serta berupaya semaksimal mungkin dan
bersungguh-sungguh mengekang dorongan nafsu, dan selalu berdo’a kepada Allah
Ta’ala.
HUKUM BERAMAL
YANG BERCAMPUR ANTARA IKHLAS DAN TUJUAN-TUJUAN LAIN
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ’Utsaimin menjelaskan tentang seseorang yang beribadah kepada
Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi menjadi tiga golongan.
Pertama :
Seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam ibadahnya, dan
untuk mendapat sanjungan dari orang lain. Perbuatan seperti membatalkan amalnya
dan termasuk syirik, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Allah berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ
Aku tidak
butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal mempersekutukanKu dengan yang
lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya. [HSR Muslim, no. 2985; Ibnu
Majah, no. 4202 dari sahabat Abu Hurairah].
Kedua :
Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti ingin menjadi
pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa bermaksud untuk taqarrub
kepada Allah. Amal seperti ini akan terhapus dan tidak dapat mendekatkan diri
kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia
tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali
neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia,
dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. [Hud : 15-16].
Perbedaan
antara golongan kedua dan pertama ialah, jika golongan pertama bermaksud agar
mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah; sedangkan golongan kedua tidak
bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli ibadah kepada Allah dan dia tidak ada
kepentingan dengan sanjungan manusia karena perbuatannya.
Ketiga :
Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah sekaligus
untuk tujuan duniawi yang akan diperoleh. Misalnya :
•- Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah
kepada Allah, juga berniat untuk membersihkan badan.
•- Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
•- Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat
bersejarah, tempat-tempat pelaksaan ibadah haji dan melihat para jamaah haji.
Semua ini
dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih banyak adalah niat
ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang sempurna. Tetapi hal itu tidak
menyeret pada dosa, seperti firman Allah tentang jama’ah haji disebutkan dalam
KitabNya:[10]
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Tidak ada dosa
bagimu untuk mencari karunia (rezeki) dari Rabb-mu……[Al Baqarah : 198].
Namun, apabila
yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran
di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia; bahkan dikhawatirkan
akan menyeretnya pada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena
Allah sebagai tujuan yang paling tinggi, ia jadikan sebagai sarana untuk
mendapatkan dunia yang rendah nilainya. Keadaan seperti itu difirmankan Allah
Subhanahu wa Ta’ala :
وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِن لَّمْ يُعْطَوْا مِنْهَآ إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
Dan di antara
mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika mereka diberi sebagian
darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya,
dengan serta mereka menjadi marah. [At Taubah : 58].
Dalam Sunan
Abu Dawud [11], dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang bertanya:
“Ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Seseorang ingin berjihad di
jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ingin mendapatkan harta (imbalan) dunia?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak ada pahala baginya,”
orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa salalm menjawab,”Tidak ada pahala baginya.”
Di dalam
Shahihain (Shahih Bukhari, no.54 dan Shahih Muslim, no.1907), dari Umar bin
Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا ، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَىمَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Barangsiapa
hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang
wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai dengan tujuan niat
dia berhijrah.
Apabila ada
dua tujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah karena Allah dan tujuan
lainnya beratnya sama, maka dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama.
Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran ialah, bahwa orang tersebut tidak
mendapatkan apa-apa.
Perbedaan
golongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan selain ibadah pada
golongan sebelumnya merupakan pokok sasarannya, kehendaknya merupakan kehendak
yang berasal dari amalnya, seakan-akan yang dituntut dari pekerjaannya hanyalah
urusan dunia belaka.
Apabila
ditanyakan “bagaimana neraca untuk mengetahui tujuan orang yang termasuk dalam
golongan ini, lebih banyak tujuan untuk ibadah atau selain ibadah?”
Jawaban kami:
“Neracanya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah
saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih
besar tertuju untuk ibadah. Dan bila sebaliknya, ia tidak mendapat pahala”.
Bagaimanapun
juga niat merupakan perkara hati, yang urusannya amat besar dan penting.
Seseorang, bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling
bawah disebabkan dengan niatnya.
Ada seorang
ulama Salaf berkata: “Tidak ada satu perjuangan yang paling berat atas diriku,
melainkan upayaku untuk ikhlas. Kita memohon kepada Allah agar diberi
keikhlasan dalam niat dan dibereskan seluruh amal” [12].
IKHLAS ADALAH
SYARAT DITERIMANYA AMAL
Di dalam Al
Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku ikhlas, kedudukan
dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas kaitannya dengan kemurnian
tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari
berbagai tujuan.
Yang pokok
dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya amal.
Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang tidak akan di terima
di sisi Allah, kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat dan ikhlas karena Allah.
Kedua. Sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan KitabNya atau yang dijelaskan
RasulNya dan sunnahnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka amalnya
tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan
dalam firmanNya:
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal
shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya. [Al Kahfi
: 110].
Di dalam ayat
ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai
dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian Dia
memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya
karena Allah semata, tidak menghendaki selainNya.[13]
Al Hafizh Ibnu
Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya [14]: “Inilah dua landasan amalan yang
diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ”.
Dari Umamah,
ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam seraya berkata,”Bagaimanakah pendapatmu (tentang) seseorang yang
berperang demi mencari upah dan sanjungan, apa yang diperolehnya?” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang
itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
salalm selalu menjawab, orang itu tidak mendapatkan apa-apa (tidak mendapatkan
ganjaran), kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَ ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas dan
dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah. [HR Nasa-i, VI/25
dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri dalam At Targhib Wat
Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib
Wat Tarhib, I/106, no. 8].
[Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Al Majmu’
Syarhul Muhadzdzab, Imam An Nawawi (I/16-17), Cet. Darul Fikr; Madarijus
Salikin (II/95-96), Cet. Darul Hadits Kairo; Al Ikhlas, oleh Dr. Sulaiman Al
Asyqar, hlm. 16-17, Cet. III, Darul Nafa-is, Tahun 1415 H; Al Ikhlas Wasy
Syirkul Asghar, oleh Abdul Lathif, Cet. I, Darul Wathan, Th. 1412 H.
[2]. Al Majmu’
Syarhul Muhadzdzab (I/17); Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (I/70).
[3]. Jami’ul
Ulum Wal Hikam (I/70).
[4]. Ibid.
(I/71).
[5]. Madarijus
Salikin (II/95).
[6].
Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.
[7]. Madarijus
Salikin (II/96).
[8].
Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.
[9]. Lihat
hadits yang semakna dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib (I/153-155); At Tarhib
Min Ta’allumil Ilmi Lighairi Wajhillah Ta’ala, hadits no. 105-110; dan hadits
ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah.
[10]. Ada
beberapa amal lain yang mirip dengan contoh di atas, seperti:
• Menunaikan ibadah haji dan umrah, disamping bertujuan
ibadah, juga untuk bertamasya (tour).
• Mendirikan shalat malam, tujuannya supaya lulus ujian,
usahanya berhasil dan lainnya.
• Berpuasa, agar tidak boros dan tidak disibukkan dengan
urusan makan.
• Menjenguk orang sakit, agar ia dijenguk pula bila ia sakit.
• Mendatangi walimah nikah, agar yang mengundang datang bila
diundang.
• I’tikaf di masjid, supaya ringan biaya kontrak (sewa)
tempat, atau untuk melepas kepenatan mengurus keluarga.
Apapun yang
mendorongnya, semua pekerjaan yang tujuannya taqarrub, akan menjadi berkurang
nilainya dan bisa jadi terhapus. Wallahu a’lam. (Pen).
[11]. Sunan
Abu Dawud, Kitabul Jihad, Bab Fi Man Yaghzu Yaltamisud Dunya, no. 2516. Hadits
ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 2196.
[12]. Majmu’
Fatawaa wa Rasa-il, I/98-100, Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin, Tartib Fahd bin Nashir bin Ibrahim As Sulaiman, Cet. II Darul Wathan
Lin Nasyr, Th. 1413 H.
[13]. Lihat At
Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani, Cet. III, Darus Salafiyyah, Th. 1405 H.
[14]. Tafsir
Ibnu Katsir (III/120-121), Cet. Maktabah Darus Salam
0 Response to "PENGERTIAN DAN TUJUAN IKHLAS MENURUT ISLAM"
Post a Comment